노래하는곳에

[스크랩] *김광석 노래모음/김광석 노래듣기/김광석 사랑했지만/김광석 서른즈음에

블루오션 목건네 2013. 12. 31. 15:29

 *김광석 노래모음/김광석 노래듣기/김광석 사랑했지만/김광석 서른즈음에

저희 어머니가 아저씨팬이에요 전 솔직히 아저씨에대해서 잘모르지만

  엄마가 팬이기에 아저씨 노래를 집엣거 많이 들려주세요

그래서 저도 듣고 참 잔잔한 선율로 감동을 주시는구나 생각들었고여 제가 좋아하는 노래 사랑했지만올립니다

 


 

 

 

 

dekat Pasar Boplo, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (31/1/2012) malam terus membesar dan belum bisa dipadamkan. Api berasal dari salah satu toko di samping Stasiun Gondangdia.

"Dari laporan yang kami terima, kebakaran mulai jam 20.13 WIB," kata Dani, salah seorang staf Pemadam Kebakaran yang berada di lokasi.

Ia menuturkan, dalam waktu 10 menit kobaran api telah merambat cepat hingga k 

e atap bangun satu lantai tersebut. "Kemungkinan karena banyak gas di dalam," lanjut Dani.

Ia menduga, api membumbung sangat tinggi hingga melewati bangunan tiga lantai yang berada di sisinya. Kobaran api saat ini mulai merayap ke bangunan tiga lantai yang antara lain diisi oleh sebuah kantor notaris.

Dikhawatirkan api akan terus membesar dan merobohkan sebuah pemancar stasiun radio amatir yang berada di belakang bangunan tiga lantai tersebut. Hingga saat ini tak kurang dari delapan mobil damkar telah berada di sekitar lokasi untuk membantu pemadaman.

Sebelumnya, Suku Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Pusat menyatakan telah mengerahkan 25 mobil pemdam kebakaran ke lokasi. Belum diketahui penyebab kebakaran tersebut

 

Tak sedikit orang yang mencurahkan perasaannya lewat tulisan. Seperti Cahaya Bunga Saragih yang menuliskan jejak rekam hidupnya dalam novel Tak Seindah Pelangi Danau Toba. Bahkan novelnya ini diklaim sebagai pengakuan dosanya di masa silam.

"Ini mungkin bukan novel, yah. Ini seperti pengakuan dosa," ucapnya saat ditemui di studio Hanggar, Pancoran, Jakarta, Jumat lalu.

Novel yang terdiri dari 200 halaman itu menceritakan pengalaman Cahaya. Bagaimana ia  

menjalani kerasnya hidup, mulai menjadi kupu-kupu malam, hingga mencari sosok ibu, dan sukses seperti sekarang.

Tak hanya novel, tetapi Tak Seindah Pelangi Danau Toba disertakan CD yang juga mendukung cerita di dalam novel tersebut. Dalam mengerjakan lagu-lagu yang ada di CD, Cahaya dibantu Maman Piul, musisi yang sempat membantu Iwan Fals dalam merampungkan albumnya.

"CD-nya sesuai dengan cerita itu. Begitu baca tentang perjalanan Cahaya, ada 11 lagu di dalamnya," ujar Maman.

Dalam novelnya, ibu satu anak ini berharap akan ada banyak orang yang terinspirasi dengan jalan hidupnya. "Ternyata hidup ini, apa pun kita sebelumnya, tak akan menutup kita untuk lebih baik. Lihat saya, yang dulu jadi sampah masyarakat sekarang bisa berteman dengan orang-orang hebat," pungkasnya.

 

dilahirkan di Pekalongan, 20 Desember 1967. Karier kepenulisannya dimulai ketika ia sedang kuliah di Jurusan Teater, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Karya pertamanya berupa sebuah cerpen berjudul "Opas" yang dimuat di harian sore Wawasan. Selanjutnya, cukup banyak cerpen yang ia hasilkan dan dimuat di berbagai media massa, antara lain Bernas, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Lampung Pos, Tribun Jabar, Nova, HAI, dan Citra tetapi tak sempat ia kumpulkan. 

Bahkan jejak-jejak dari cerpen-cerpen itu pun menghilang lantaran ia bukan seorang yang rapi secara administratif. Sejak 1990, sambil kuliah, ia bekerja di sebuah surat kabar di Yogyakarta, mulai dari wartawan hingga akhirnya menjadi redaktur pelaksana.

Sambil bekerja, ia masih sering menulis cerita, termasuk novel dan novelet yang dimuat secara bersambung di majalah wanita Kartini dan Femina pada dasawarsa 1990-an.

Selain menulis cerpen dan novel, ia juga menulis skenario, antara lain untuk Suami-suami Takut Istri (Trans TV), Teater Paradiso (TPI), Pengakuan Terlarang (Global TV), Si Kecil Berhati Besar (RCTI), Demi Keluarga (Global TV), dan Nyaris Mati (Global

 

Rosyid pun tampaknya sepakat dengan keputusan itu. Sebab di tempat itulah aku bisa berdiam, tak perlu berlari atau sembunyi. Bagaimanapun, terus berlari dan terus bersembunyi, sangat melelahkan. Tak ubahnya menjalani hidup tanpa pernah ada kepastian. Di sana, di kampung suamiku, aku benar-benar bisa pasrah, menyerahkan sepenuhnya apa yang akan terjadi kepada nasib, kepada takdir. Bahkan jika pada akhirnya aku harus menanggung akibat dari sesuatu yang tak pernah kulakukan, aku pun akan dengan rela hati menjalaninya.

Kepada Pak Dul, aku mengucapkan terima kasih yang tak ternilai. Kata-kata tak mampu menampung  

sepenuhnya ungkapan rasa itu. Aku pun meminta maaf karena telah menyebabkan ia menderita, harus tergolek di rumah sakit selama berhari-hari akibat salah satu tulang rusuknya patah. Pak Dul mengangguk. Bu Hasanah tak mampu membendung perasaannya. Tapi kuyakinkan bahwa insya Allah aku akan baik-baik saja. Aku pun berjanji, kelak, jika nasib baik masih berpihak, aku pasti akan mengunjungi mereka. Bagaimanapun mereka berdua telah kuanggap tak ubahnya sebagai kerabatku sendiri.

Rosyid pun kumintai bantuan. Barang-barang yang saat ini masih ada di rumah Pak Jafar kuminta  

untuk dijual. Rosyid bersedia, meskipun pada akhirnya aku tahu, barang-barang itu mereka beli sendiri. Mereka tak menjualnya ke siapa-siapa.

Berbekal uang hasil penjualan perabotan dan ditambah sedikit sumbangan dari Rosyid dan kawan-kawannya, aku pulang. Wajah ibu tiba-tiba saja membayang di pelupuk mataku. Ibu tentu akan terkejut melihat kedatanganku. Namun beliau juga tentu akan merasa senang karena bisa bercengkerama lagi dengan satu-satunya cucu. Perpisahan ini sungguh menyedihkan. Namun aku harus melakukannya. Aku harus  

melanjutkan hidup di jalanku sendiri.

Sepanjang perjalanan, di atas bus yang bergoyang-goyang lantaran jalanan yang meskipun teraspal namun tetap saja tak pernah rata, kurangkai kembali peristiwa demi peristiwa yang kualami. Bermula dari kejadian terakhir yang menimpa Pak Dul, lantas mundur ke peristiwa yang terjadi pada Musidi; tentang ibu yang kusarankan untuk pulang ke kampung lantaran tak tega melihat Pak Dul harus kejam terhadap dirinya sendiri demi bisa menampung keberadaan kami, kedatanganku ke pompa bensin di tengah-tangah perjalanan yang tak bisa kuraba arah tujuannya;  

tentang selebaran pencarian terhadap suamiku dan terhadap diriku yang kulihat di papan pengumuman di masjid; tentang pengusiran para tetangga yang kurasa sangat kejam dan tak berperikemanusiaan.

Pengembaraan kenanganku terus meluncur makin ke dalam, makin ke belakang, tentang suamiku, tentang orang-orang yang selama ini berhubungan dengan suamiku, tentang anak-anak muda yang belajar di rumah kontrakanku, tentang anak Pak Jafar yang gemar menghujat dan mencaci maki ibu kandungnya sendiri, tentang kasak-kusuk para tetangga. Semua tergambar jelas. Terbentang dalam bingkai yang suram. Jika  

ada kilauan cahaya yang kutangkap, itu adalah bayangan tentang kedua orangtuaku. Tentang ayah dan ibu yang harus berpulang justru dalam kondisi yang tentu sangat tak mereka inginkan. Mereka adalah korban. Korban sebuah peradaban. Korban sebuah zaman.

Wajah ayah dan ibu semakin lama terlihat semakin jelas. Keduanya tersenyum. Mereka bahkan mengembangkan kedua tangan, seolah-olah ingin memelukku. Mereka ingin aku mendatangi mereka agar bisa mereka dekap, seperti dulu, seperti ketika aku masih kecil,  

saat aku masih kanak-kanak. Dekapan yang hangat, dekapan yang penuh perlindungan. Dekapan yang sangat tulus dan jernih. Selalu saja aku merasa sangat aman, amat damai, manakala berada di sana, menenggelamkan diri dalam pelukan mereka.

Ayah juga tersenyum melihat Hanifah. Beliau tampak sangat bahagia demi melihat cucu beliau cantik dan lincah. Ayah ingin sekali mengelus rambut Hanifah yang ikal dan sangat lebat. Ingin juga menumpahkan seluruh persediaan cinta yang beliau miliki kepadanya. Namun  

beliau mengurungkan niat. Ibu pun turut mencegah. Mereka berdua lantas sadar. Mereka harus menjaga jarak. Aku tak boleh mereka seret ke dalam lingkaran yang saat ini mengelilingi mereka. Aku sedih. Namun aku bisa memahami. Lantas sebuah guncangan keras menyadarkanku.

Aku terbangun setelah beberapa saat tanpa kusadari aku terlelap. Rupanya roda bus melintas jalan berlubang sehingga semua penumpang terguncang. Guncangan itu pun seolah memutuskan begitu saja kenangan yang terpahat indah. Tak kutemukan lagi wajah  

ayah dan ibu. Tak kulihat lagi senyum mereka yang mengembang sempurna. Tak kutemukan lagi cahaya cinta yang mereka pancarkan.

Saat kesadaranku telah benar-benar pulih, saat itulah aku membuat keputusan baru. Aku memang harus pulang. Aku harus menjalani hari-hariku sendiri. Aku tak boleh lagi melibatkan orang lain, kendati itu adalah ibu mertuaku sendiri. Keputusan pulang ke kampung di kaki Gunung Sumbing, kurasa bukan sebuah keputusan yang tepat. Seperti halnya yang terjadi pada Pak Dul, ibu pun niscaya akan dituduh  

menyembunyikanku. Beliau tentu akan dicecar pertanyaan-pertanyaan oleh para pencariku. Aku pun yakin, ibu pasti akan berkilah dan tak akan mengakui aku ada di situ. Tentu hal itu sangat berbahaya. Ibu sudah terlalu banyak menderita. Ibu sudah tercerabut dari kedamaian, ketenteraman dan ketenangan – yang seharusnya beliau nikmati di hari tua – saat bersamaku selama ini. Aku tak ingin beliau mengalaminya lagi. Maka  

ketika aku harus pulang, itu bukan ke kampung suamiku, melainkan ke kampung yang selama ini tetap kuanggap sebagai kampung halamanku. Aku akan ke Pidie. Aku harus menjenguk makam kedua orangtuaku.

Aku harus bersimpuh di sana, mendoakan mereka. Itu satu hal yang selama ini seperti terlupa. Aku jadi merasa tak  

ubahnya seorang anak durhaka, yang melupakan begitu saja jasa dan pengorbanan orangtua. Aku merasa berdosa. Bahkan sangat berdosa.

Maka di sebuah terminal, ketika perjalanan baru separuh, aku turun. Kuputuskan untuk berganti bus. Kucari bus lain yang melintas antarpulau. Bus yang akan membawaku ke sebuah wilayah yang selama ini kurindukan. Ke sebuah kampung yang selama ini telah kutinggalkan. Di sana, akan kurangkai kembali kepingan-kepingan hariku, kueja kembali takdirku. Ya, aku harus kembali. Ke Aceh. Sebagian jiwaku masih kutitipkan di sana

 

Tradisi gentong haji di daerah Pantura terus dipertahankan oleh warga Cirebon karena budaya leluhur mereka dinilai bermanfaat.

Kebiasaan menyediakan air di dalam gentong bagi keluarga yang berangkat ke tanah suci, sudah berlangsung secara turun temurun, warga meminum air tersebut sambil mendoakan jemaah haji supaya sehat, selamat, dimudahkan menjalankan ibadahnya.

Kastinah, keluarga jemaah haji di Pamuragan Kabupaten Cirebon kepada wartawan di

 

Cirebon, Jumat, mengatakan, budaya gentong haji terus dipertahankan oleh masyarakat Pantura Cirebon.

"Kami menyediakan air dalam gentong di depan rumah, untuk diminum siapapun yang melintas, harapan keluarga berkah dan dimudahkan menjalankan ibadah haji,"katanya.

Ia menjelaskan, tradisi gentong haji sudah berlangsung turun temurun. Mereka tidak  

mengetahui siapa yang memulainya, hanya bisa mempertahankan budaya tersebut.

Sementara itu Fadilah keluarga jemaah haji di Celancang Cirebon menuturkan, tradisi gentong haji masih tetap dilaksakan oleh warga setempat, kini dirinya menyediakan gentng tersebut untuk mencari berkah dari doa masyarakat yang sengaja minum airnya.

Budaya warisan Pantura, kata dia, harus dipertahankan karena tidak semua daerah memiliki kebiasaan tersebut. Tujuanya hanya mendoakan keluarga yang sedang menjalankan ibadah

 

출처 : 같이 더불어 살자고요
글쓴이 : 레몬 원글보기
메모 :