노래하는곳에

[스크랩] *김현식 노래모음/김현식 내사랑내곁에/김현식 비처럼 음악처럼/김현식 사랑했어요/*김현식 노래듣기

블루오션 목건네 2013. 12. 31. 15:30

*김현식 노래모음/김현식 내사랑내곁에/김현식 비처럼 음악처럼/김현식 사랑했어요

김현식 노래듣기

우리엄마가 그러는데 아저씨는 천재가수래요 글쎄 전 천재가수인지아닌지 솔직히는몰라요

 그런데 제가 들어보면서 아저씨 노래들어보면서

왠지 끌리는 느낌 뭐 그런게있더라고요 노래를 영혼으로 느끼게해준다고할까

 뭐 그런거요 아 그리고 아저씨 잜생기셨던거같고요^^

 


 

KABAR tentang penyerangan terhadap Pak Dul sampai juga ke telinga Rosyid dan kawan-kawan. Mereka mengunjungi Pak Dul di rumah sakit. Bukan hanya sekadar berkunjung, mereka pun bersedia menanggung sebagian biaya rumah sakit yang harus dibayar karena pompa bensin tempat Pak Dul bekerja hanya bisa menanggung separuh saja.

Pak Dul disarankan untuk melapor ke polisi atas penganiayaan itu. Namun Pak Dul menolak. Ia sudah mengikhlaskan apa yang terjadi, merelakan apa yang ia alami. Bagi Pak Dul, itu adalah sebagian dari risiko yang harus ia tanggung ketika bersedia

menyembunyikanku. Justru ia khawatir jika mengadukan penganiayaan yang ia alami akan berakibat pada diriku. Polisi akan mengusut keberadaanku. Pak Dul tak menginginkan itu terjadi. Sebab percuma saja pemi sikap Pak Dul.

Bahkan mereka sangat menghargainya. Sekarang semuanya terpulang kepadaku. Semua keputusan ada di tanganku. Apa pun keputusan yang kubuat, mereka akan mendukung sepenuhnya. “Saya rasa sudah saatnya saya harus pergi dari rumah Pak Dul,” kataku

pada akhirnya. Semua orang diam. Semua mata tertuju kepadaku. Mereka menunggu apa yang selanjutnya akan kulakukan.

“Dua orang sudah menjadi korban. Pertama Musidi. Anak muda itu sangat jujur. Ia menyampaikan apa yang memang seharusnya disampaikan. Ia tak bersalah. Ia benar jika menunjukkan saya berada di rumah Pak Dul. Sebab nyatanya saya memang berada di sana. Tetapi saya terlalu pengecut untuk mengakuinya. Saya pecundang. Saya tak berani bertanggung jawab. Akibatnya, Musidi yang harus menanggung akibatnya. Ia pasti

dianggap berdusta. Dituduh memberikan keterangan palsu dan menyesatkan sehingga harus diciduk.

Korban kedua adalah Pak Dul. Ia pun seharusnya tak boleh mengalami hal seperti ini. Saya yang paling berhak menderita. Sebab, meskipun saya tetap membantah tuduhan mereka, namun sayalah yang menjadi penyebab dari serangkaian peristiwa tragis ini. Saya yang seharusnya bertanggung jawab. Tapi lagi-lagi, ternyata saya hanyalah seorang pengecut. Peristiwa yang terjadi pada Musidi tak saya jadikan pelajaran bahwa masih ada kemungkinan kejadian yang sama dialami oleh orang lain.

Sekarang, saya pastikan, tak akan ada lagi orang yang akan mengalami nasib seperti Musidi dan Pak Dul. Biarlah saya sendiri yang bertanggung jawab jika memang saya diwajibkan untuk bertanggung jawab. Saya sudah sangat berdosa mengorbankan kedua orang yang ironisnya bukan bagian dari kehidupan saya secara langsung. Mereka bukan kerabat saya. Mereka adalah orang-orang baik namun bernasib malang.” Aku diam sejenak. Kupeluk Hanifah makin erat. Aku hanya bisa menunduk.

Pelan-pelan mataku mulai basah. Setumpuk penyesalan telah mencair menjadi genangan airmata yang setetes demi setetes merambat di kelopak mataku. “Bu Abidah mau menyerahkan diri?” tanya Rosyid. “Tidak,” kataku tegas. “Saya tidak akan menyerahkan diri. Saya punya alasan untuk itu. Pertama, tidak ada perintah pencarian secara resmi untuk saya, seperti yang pernah dikatakan Pak Rosyid. Saya tidak merasa buron, karena

saya bukan buronan. Alasan kedua, tuduhan mereka tak beralasan. Saya bukan bagian dari jaringan yang mereka tuduh telah membuat keonaran. Saya hanyalah seorang ibu rumah tangga dengan seorang putri. Saya memang tidak bisa memastikan apakah suami saya benar seperti yang mereka tuduhkan ataukah tidak, tetapi yang pasti, jika memang benar, maka apa pun yang dilakukan suami saya tak ada kaitannya dengan saya. Suami saya tak pernah melibatkan saya. Jadi, dusta jika mereka mengait-kaitkan nama saya dengan kegiatan suami saya.” “Apa yang akan Bu

 

Abidah lakukan?” “Saya mau pulang. Secara terang-terangan saya akan kembali ke rumah ibu mertua saya di kaki Gunung Sumbing. Jika mereka memang masih mengincar saya, maka biarlah saya ditangkap di sana. Saya akan menanggungnya sendiri. Bahkan ibu pun tak akan pernah saya libatkan. Tentu saya akan menghubungi Pak Rosyid kalau memang hal itu terjadi. Saya tetap akan meminta bantuan Pak Rosyid untuk mendampingi saya.” Rosyid mengangguk. Keputusanku sudah bulat. Tak seorang pun boleh menghalanginya.                            

 

lantas bercerita, setelah berhasil memintaku pergi, ia yang masih digayuti kebingungan dan kecemasan, berlari menuju ke pompa bensin. Minta bantuan agar suaminya ditolong. Ketika itu yang ada dalam pikiran Bu Hasanah adalah mencari orang untuk ikut membantu Pak Dul menghadapi tujuh lelaki berbadan tinggi besar itu. Orang-orang di pompa bensin yang mendengar cerita Bu Hasanah buru-buru berhamburan ke rumah Pak Dul. Hanya ada beberapa orang perempuan yang sengaja diminta tetap berada di sana agar pompa bensin itu tetap bisa melayani pembeli.

Sesampai di rumah, ternyata ketujuh orang itu sudah tak ada lagi. Mereka seperti menghilang

begitu saja. Mereka meninggalkan Pak Dul yang tergeletak tak berdaya di ruang tamu. Pak Dul memang terluka parah, namun nadinya masih berdenyut. Mereka pun segera membawanya ke rumah sakit. Aku ngilu.

Sangat perih mendengar cerita itu.

Tanpa rasa malu, aku langsung bersimpuh di kaki Bu Hasanah. Meminta maaf lantaran telah melibatkan mereka dalam persoalan yang seharusnya tak menimpa kehidupan mereka. Aku yang bersalah. Jika memang harus teraniaya, maka sesungguhnya

akulah yang wajib dianiaya, bukan Pak Dul. Lelaki itu hanya seorang lelaki yang mencoba berbuat baik, berusaha meninggalkan jejak-jejak harum di sisa-sisa waktu hidupnya setelah separuh perjalanan waktunya hanya ditimbuni oleh kebusukan-kebusukan.

Malam itu, aku benar-benar terpuruk.

Merasa menjadi pendosa.

Orang yang benar-benar berlumuran dosa.

Aku merasa diriku tak ubahnya dengan para tetangga di kampung yang kuhuni dulu, yang

mengaku dirinya sebagai muslim namun perbuatan mereka kadang tak mencerminkan sebagai seorang muslim. Akulah mahluk paling hina, manusia paling kotor, paling pengecut, paling nista. Di rumah Pak Dul, aku seperti melihat serpihan-serpihan masa depan yang masih tersebar dan berserakan. Aku juga melihat kepingan-kepingan masa lalu yang ketika dirangkai ternyata hanya berisi gambar-gambar abstrak. Gambar yang tak kupahami benar maknanya.

Setelah semalaman hanya terkubur dalam penyesalan dan rasa bersalah, aku merasa harus

membuat keputusan. Jika kepingan masa laluku terangkai menjadi lukisan abstrak, maka serpihan masa depan yang masih terserak tak boleh terangkai menjadi wujud yang sama. Aku harus bisa menemukan wujud yang realis. Wujud yang nyata. Jika ada hak yang mesti kudapatkan, maka ada pula kewajiban yang harus kulakukan.

Ya, aku harus memutuskan agar tak lagi ada orang yang harus menanggung kewajiban yang tak seharusnya mereka usung. Aku tak boleh lagi menjadi penyebab penderitaan orang-orang yang justru telah berbuat baik kepadaku. Aku harus berani menghadapi kenyataan. Aku harus berani menerima apa pun yang harus kuterima. Keputusan itu, bulat sudah kubuat

 

Tradisi gentong haji di daerah Pantura terus dipertahankan oleh warga Cirebon karena budaya leluhur mereka dinilai bermanfaat.

Kebiasaan menyediakan air di dalam gentong bagi keluarga yang berangkat ke tanah suci, sudah berlangsung secara turun temurun, warga meminum air tersebut sambil mendoakan jemaah haji supaya sehat, selamat, dimudahkan menjalankan ibadahnya.

Kastinah, keluarga jemaah haji di Pamuragan Kabupaten Cirebon kepada wartawan di Cirebon, Jumat, mengatakan, budaya gentong haji terus dipertahankan oleh masyarakat Pantura Cirebon.

"Kami menyediakan air dalam gentong di depan rumah, untuk diminum siapapun yang melintas, harapan keluarga berkah dan dimudahkan menjalankan ibadah haji,"katanya.

Ia menjelaskan, tradisi gentong haji sudah berlangsung turun temurun. Mereka tidak mengetahui siapa yang memulainya, hanya bisa mempertahankan budaya tersebut.

Sementara itu Fadilah keluarga jemaah haji di Celancang Cirebon menuturkan, tradisi gentong haji masih tetap dilaksakan oleh warga setempat, kini dirinya menyediakan gentng tersebut untuk mencari berkah dari doa masyarakat yang sengaja minum airnya.

Budaya warisan Pantura, kata dia, harus dipertahankan karena tidak semua daerah memiliki kebiasaan tersebut. Tujuanya hanya mendoakan keluarga yang sedang menjalankan

 

 

Berdiri di dalam benteng berusia 500 tahun peninggalan Portugis di Desa Sangadji, Kecamatan Ternate Utara, Ternate, Maluku Utara, dan memandang laut lepas di hadapannya membuat orang lupa akan beban hidup untuk sementara.

Keindahan perairan Ternate serta jajaran bukit dan gunung yang samar tampak di kejauhan membuat benteng yang dikenal masyarakat sekitar bernama Toloko tersebut istimewa.

Setelah hampir 100 tahun Toloko berdiri, benteng yang berganti nama menjadi Holandia saat diduduki Belanda tersebut mulai direstorasi. Adalah Jan Peter Booth yang mulai merestorasi benteng tersebut pada tahun 1610.

Meski demikian keelokan benteng dengan latar belakang Gunung Gamalama dan Pulau Tidore di bagian timur laut ini tetap terjaga.

Benteng lain yang menjadi saksi awal kolonialisasi di Nusantara oleh Belanda adalah Benteng Orange.

Dari nama tersebut sangat mudah ditebak siapa yang membangun benteng yang awalnya menjadi pusat perusahaan dagang Belanda, VOC, di Nusantara tersebut.

Benteng berusia lebih dari 400 tahun ini awalnya juga berada di tempat yang strategis dengan pandangan

luas ke laut lepas.

Tidak heran jika benteng di Kelurahan Gamalama, Kecamatan Ternate Selatan, Ternate, Maluku Utara, ini menjadi bangunan pertahanan pertama Belanda di Nusantara tampak kurang terawat.

Laut pun kini tidak tampak sedikit pun dari atas tembok benteng, tertutup oleh perumahan dan pertokoan padat di Kota Ternate.

Tidak hanya dua benteng di atas yang didirikan di masa awal kolonialisasi di Nusantara. Masih ada Benteng Kotanaka yang dibangun di samping kanan sebelah utara Kedaton Sultan Tenate, di atas sebuah bukit.

Benteng Belanda yang dibangun di abad ke 18 ini sengaja didirikan untuk mengawasi gerak-gerik Sultan Ternate.

Benteng lain yang tidak kalah keelokannya adalah Kalamata. Terletak di sebelah selatan pusat kota Ternate dan berjarak tiga kilometer (km) benteng yang dibangun oleh Piyageta dari Portugis tahun 1540 ini juga akhirnya direstorasi oleh Pieter Both pada masa kependudukan Belanda di. Ternate tahun 1609.

Dever Lacting, dibangun oleh Victor Moll tahun 1652 dan terletak di Desa Mangon, Kecamatan Sanana, Ternate. Benteng ini tidak banyak terdengar mengingat kondidi yang tidak utuh lagi. Kini diperkirakan hanya 30 persen saja dari bagian benteng yang masih berdiri.

Benteng lain yang masih di Ternate namun berada di luar pulau adalah Bernaveld, berlokasi di Desa Labuha Kecamatan Bacan. Butuh waktu sembilan jam untuk berlayar dari Ternate menuju pulau yang terletak di sebelah selatan pulau Ternate.

Kondisi benteng yang awalnya sengaja dibangun oleh Portugis di akhir abad XV untuk menghadang Spanyol ini masih dalam kondisi 70 persen baik.

Demi rempah-rempah

Seperti yang sudah diketahui bahwa alasan kuat penjelajahan bangsa-bangsa Eropa pada masa abad pertengahan adalah rempah-rempah.

Semakin majunya perdagangan rempah-rempah bangsa Arab sejak masa Nabi Muhammad SAW antara

tahun 641 hingga 1096, yang dilanjutkan oleh kekuasaan kekhalifaan Ottoman akan Turki dan Alexandria semakin "mengeringkan" aliran rempah-rempah dari daerah yang mereka sebut "The Spice of Islands" ke benua biru atau dataran eropa.

Rute perjalanan darat mau pun laut rempah-rempah pada masa itu terafiliasi oleh pedagang-pedagang dari Arab. Tidak heran harga rempah-rempah melambung dan lebih mirip emas ketimbang sekedar sebagai bumbu masak.

Perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi di benua biru menghantarkan Portugis menjadi bangsa eropa pertama yang mendarat di Nusantara, sebelum akhirnya di susul oleh Spanyol dan Belanda.

Ternate, Banda Naera, Ambon menjadi pulau-pulau penting yang diperebutkan demi rempah-rempah. Betapa tidak, VOC pun menjadikan Ternate sebagai pangkalannya pada masa awal berdiam di Nusantara.

Ketika berbincang dengan Arsyad Muhammad, pensiunan Polri yang menjadi juru pelihara Benteng Tolluko sedikit banyak menambah pengetahuan mengenai seluk-beluk benteng Portugis tersebut dan juga benteng-benteng lainnya di Ternate.

Arsyad bercerita bagaimana kira-kira situasi benteng yang memiliki luas 1.252 meter persegi (m2) dan diberi nama Tolluco oleh Portugis ini pada masanya.

Menurut dia, Benteng Tolluco dikelilingi oleh air ketika awal berdiri. Tidak saja dikelilingi oleh air, benteng yang menurut Arsyad jika dilihat dari atas mirip seperti alat kelamin kaum adam ini juga berada di bukit tertinggi yang berada di bibir pantai.

Bukan lah keputusan salah ketika Gubernur Jendral Francisco Seereo dari Portugis memutuskan membangun benteng tersebut pada tahun 1512. Harus diakui lokasi benteng ini memang strategis.

Dengan posisinya yang cukup tinggi Portugis dengan mudah mengawasi pergerakan yang mungkin terjadi di perairan Ternate.

Selain itu, dengan sebuah ruang bawah tanah yang memiliki lorong panjang menjorok ke tepi laut, menurut Arsyad, Portugis dengan leluasa melakukan aktivitas bongkar-muat rempah-rempah atau pun mesiu di pinggir laut pada tengah malam tanpa diketahui.

Pensiunan polisi ini lantas menunjukkan satu per satu lokasi benteng-benteng lain khususnya yang berlokasi di Ternate pada sebuah peta yang ia figura dan gantung di salah satu sudut pos pintu masuk Benteng Tolluko.

Dan benar saja, posisi benteng-benteng Portugis, Belanda, mau pun Spanyol yang ada di pulau yang kaya akan rempah-rempah tersebut seperti hendak mengelilingi gunung berapi aktif Gamalama, yang artinya mengelilingi pulau.

Salah seorang staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Ternate Deddy menunjukkan sebuah bangunan sangat panjang di dalam Benteng Orange di mana para petinggi VOC dulunya sering melakukan rapat.

Dalam benteng ini pun, lanjutnya, pernah menjadi pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) VOC Pieter Both, Herarld Reyist, Laurenz Reaal, dan J C Coum.

Selain pusat pemerintahan Belanda, benteng ini pernah menjadi pengasingan Sultan Mahmud Badarudin II (Sultan Palembang) diasingkan di Ternate tahun 1822 hingga meninggal dunia tahun 1852 dan makamnya terletak di sebelah barat kelurahan Kalumpang Ternate.

Sayangnya benteng yang sangat bersejarah ini sangat tidak terawat. Ia mengatakan pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pun tidak dapat membenahi peninggalan bersejarah ini mengingat kepemilikannya belum jelas.

Saat berkunjung ke sana, bangunan yang lebih mirip bangsal yang sebelumnya disebut sebagai tempat Gubernur Jendral VOC sering melakukan rapat besar justru tersekat-sekat dan ditempati beberapa keluarga Polri dan TNI.

Sehingga untuk melihat atau pun mengambil gambar sebuah kuburan belanda yang berada di dalam bangsal tersebut pun sulit dilakukan oleh beberapa wartawan karena pemilik bilik sedang tidak berada di rumah.

Deddy pun mengatakan Benteng Orange memang masih terlihat baik di bagian depan. Namun tembok benteng di bagian belakang yang menghadap Gunung Gamalama telah lama runtuh dan belum dapat direhabilitasi.

Bahkan saat bertanya di mana prasasti yang seharusnya melekat di salah satu sisi benteng yang menunjukkan tahun pembuatan benteng, Deddy pun menjawab sudah lepas.

Ia sendiri pun tidak mengetahui pasti kapan prasasti tersebut lepas dan di mana sekarang benda bersejarah berada.

Benteng-benteng nan cantik yang sangat bersejarah di pulau kaya penghasil rempah-rempah ini kini menjadi "benteng" bagi anak-anak Ternate. Mereka riang gembira memanfaatkan lapangan benteng atau pun balkon benteng sebagai tempat bermain di sore hari.

 

출처 : 같이 더불어 살자고요
글쓴이 : 레몬 원글보기
메모 :